Minggu, 31 Januari 2016

HUKUM LAUT INTERNASIONAL LAUT LEPAS



HUKUM LAUT INTERNASIONAL
LAUT LEPAS
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Area dan laut lepas merupakan kawasan atau wilayah yang dipergunakan bersama untuk umat manusia yang pada dasarnya bahwa segala hak terhadap kekayaan yang berada di kawasan area merupakan hak setiap umat manusia untuk antar negara dapat memamfaatkannya secara keseluruhan. Sedangkan menurut BAB XI UNCLOS 1982 area merupakan kawasan dasar laut yang tidak dimiliki oleh pihak manapun ataupun negara manapun. Sedangkan laut lepas itu sendiri merupakan laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau “high seas”. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan bersama umat manusia” (common heritage of mankind), yang berarti bahwa manfaat laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang dikandungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia dan tidak boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja.
Kawasan area dan laut lepas ini adalah kawasan yang dimaksudkan untuk damai bagi semua Negara-negara. Karena di kawasan ini, Negara-negara mempunyai kebebasan untuk melakukan pelayaran, memasang kabel dan pipa-pipa dibawah laut, bebas terbang diatasnya, menangkap ikan, riset ilmiah dan lain sebagainya, asalkan tidak menimbulkan konflik-konflik antar negara anggota UNCLOS 1982.
Pasal 86 juga menyatakan bahwa ketentuan ini tidak memengaruhi beberapa kebebasan yang di nikmati oleh Negara-megara di zona ekonomi eksklusif sesuai dengan psal 58. Oleh karena itu , hal ini tampaknya bukan merupakan alasan yang cukup untuk menegaskan bahwa zona ekonomi eksklusif membentuk bagian dari laut lepas. Sebagaimana di nyatakan sebelumnya bahwa mungkin lebih baik bila zona ekonomi eksklusif di anggap sebagai rezim yang sui generis, di mana hanya beberapa aspek tertentu saja dari kebebasan di laut lepas yang di terapkan. Selain itu peristilahan ”laut lepas” di artikan sebagai perairan yang berada di luar batas 200 mil laut zona ekonomi eksklusif.[1]
Laut lepas terbuka bagi semua Negara, baik Negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai kebebasan di laut lepas ini di antara lain:
(a) kebebasan berlayar
(b) kebebasan untuk terbang di atasnya
(c) kebebasan meletakkan kabel dan pipa di bawah laut
(d) kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi lainnya
(e) kebebasan menangkap ikan
 (f) kebebasan melakukan riset ilmiah
Kebebasan ini harus dilaksanakan oleh negara-negara dengan pertimbangan kepentingan negara lain, serta hak-hak yang tercantum dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut dalam (pasal 87). Laut lepas harus digunakan hanya untuk maksud-maksud damai dan tidak ada satu negara pun dapat menyatkan kedaulatannya terhadap bagian dari laut lepas ini ( pasal 88 dan pasal 89).[2]
Sangat jelas bahwa laut lepas merupakan wilayah laut yang tidak merupakan wilayah teritorial dari suatu negara. Laut yang tidak merupakan wilayah teritorial dari negara manapun maka laut lepas merupakan laut yang bebas atau dikenal dengan istilah res nullius dimana laut merupakan wilayah perairan yang tidak dimiliki oleh siapa pun yang artinya laut lepas dapat dimanfaatkan oleh setiap negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai. Tetapi pemanfaatan laut lepas hanya untuk kepentingan damai dan tidak ada suatu negara yang boleh mengklaim bagian laut lepas menjadi miliknya ada berada dibawah kedaulatanya. Hukum di laut lepas diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 part VII pasal 86 sampai 120. Dengan adanya kebebasan yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 kepada setiap negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai maka dengan sendirinya negara telah memiliki hak dan kewajiban untuk dapat memanfaatkan laut lepas semaksimal mungkin dengan tujuan damai. Kebebasan di laut lepas dapat dilaksananakan dengan mematuhi syarat-syarat yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 dan syarat yang diberikan oleh Hukum Internasional. Dengan adanya kebebasan yang diberikan ini maka negara mendapatkan keuntungan untuk dapat memanfaatkan wilayah laut lepas ini demi kepentingan negaranya tanpa merugikan negara lain atau pihak lain. Tetapi selain memiliki hak untuk memanfaatkan wilayah laut lepas ini negara pun terikat dengan kewajibannya untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan pihak lain atau tindakan yang dapat merusak wilayah laut lepas itu sendiri. Setiap negara memang diberikan kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas tetapi kebebasan yang diberikan bukanlah kebebebasan tanpa batas dan tanpa aturan.[3]
Kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dilakukan, sehingga terhadap kebebasan di laut bebas tersebut terdapat beberapa pengecualian yang sama sekali tidak boleh dilakukan di laut lepas. Pengecualian kebebasan di laut lepas tersebut antara lain adalah Perompakan laut (piracy), pengejaran seketika (hot persuit), penangkapan ikan dan pencemaran di laut lepas.[4]
1.2 Rumusan Masalah
            1. Bagaimana pemanfaatan area dan laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982?
            2.  Bagaimana batas kebebasan area dan laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982?
1.3 Tujuan
            1. Mengetahui pemanfaatan area dan laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982
            2. Mengetahui batas kebebasan area dan laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982









BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemanfaatan Area dan Laut Lepas Berdasarkan UNCLOS 1982
Istilah laut lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman dan laut teritorial dari suatu negara. Pada konperensi Kodifikasi Den Haag 1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun disetujui mempertimbangkan laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara pantai, dan perairan di luarnya adalah laut lepas, tetapi konperensi tersebut mengalami kegagalan dalam menentukan lebar laut teritorial. Kemudian konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam pasal 2 dari Konvensi Genewa 1958 tentang laut lepas, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari laut lepas ke daerah kedaulatannya. Laut lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu negarapun yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian laut lepas.[5]
Kebebasan pertama di laut lepas adalah kebebasan berlayar. Pasal 90 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa “Setiap Negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas”.[6] Mengingat bagian bumi ini terdiri dari daratan yang dipisahkan oleh hamparan laut maka pelayaran dibagian laut sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan khususnya sebagai sarana transportasi dan dengan adanya kebebasaan untuk menggunakan laut lepas untuk berlayar maka negara diberikan kemudahan dan keuntungan. Kapal yang berlayar harus mengibarkan bendera negaranya sebagai tanda yurisdiksi yang tunduk dalam kapal tersebut. Negara bendera kapal harus memperhatikan ketentuan pasal 91 mengenai syarat berlayar di laut lepas menyangkut kebangsaan kapal, pendaftaran atau registrasi dan bendera kapal.[7]
Kebebasan kedua yaitu kebebasan penerbangan dalam pasal 87 ayat (1) dan (2) Semua negara baik negara pantai maupun tidak berpantai mempunyai kebebasan untuk melakukan penerbangan di ruang udara di atas laut lepas, dengan memperhatikan kepentingan negara lain.[8] Kebebasan yang diberikan Konvensi Hukum Laut 1982 lainnya, penerbangan diatas laut lepas harus dilaksanakan dengan memperhatikan syarat dan ketentuan baik dalam Konvensi Hukum Laut 1982 maupun ketentuan hukum internasional lainnya. Juga penerbangan diatas laut lepas hanya dilakukan dengan tujuan damai dengan memperhatikan kepentingan negara lain tanpa merugikan mereka.[9]
Kebebasan ketiga menurut pasal Pasal 112 ayat (1) menyatakan bahwa “Semua Negara mempunyai hak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut di atas dasar laut lepas di luar landas kontinen. Setiap negara berhak memasang kabel atau pipa bawah laut dengan memperhatikan juga ketentuan dalam konvensi hukum laut 1982 yang berkaitan dengan landas kontinen yaitu pada pasal 79 paragraf 5. Pasal 113 menyatakan Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang undangan yang diperlukan untuk mengatur bahwa pemutusan atau kerusakan pada kabel bawah laut di bawah laut lepas yang dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian yang sangat oleh sebuah kapal yang mengibarkan benderanya atau oleh seorang yang tunduk pada yurisdiksinya dan pasal 115 menyatakan Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk menjamin bahwa pemilik kapal yang dapat membuktikan bahwa mereka telah mengorbankan sebuah jangkar, sebuah jaring atau peralatan penangkapan ikan lainnya dalam usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut.[10]
Kebebasan ke empat setiap negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai memiliki kebebasan untuk membuat pulau buatan atau instalasi lainnya diatas laut lepas dengan tunduk pada bagian VI konvensi hukum laut 1982. Artinya pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Ketentuan dalam pasal ini sangatlah jelas berkaitan dengan status pulau buatan dan instalasi lainnya. Kebebasan ke lima yaitu setiap negara baik yang berpantai maupun negara tidak berpantai dapat memanfaatkan kebebasan di laut lepas berupa kebebasan menangkap ikan dengan memperhatikan syarat dan ketentuan yang ada juga tetap memelihara lingkungan laut lepas itu sendiri. Kebebasan yang ke enam menurut Pasal 238
Semua Negara, tanpa memandang letak geografisnya dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten, berhak mengadakan riset ilmiah kelautan dengan memperhatikan hak dan kewajiban Negara-negara lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.” Serta dalam Pasal 239 dinyatakan bahwaNegara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus menggalakan dan memudahkan pengembangan dan penyelenggaraan riset ilmiah kelautan sesuai dengan Konvensi ini.[11]

2.2 Batas Kebebasan Area dan Laut Lepas Berdasarkan UNCLOS 1982
            Dalam kebebasan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS 1982 tentang laut lepas ada beberapa hal yang membatasi kebebasan tersebut. Hal-hal yang membatasi kebebasan tersebut sangat erat hubungannya dengan hak asasi manusia dan dalam dunia internasional dikenal dengan universal declaration of human rights. Pembatasan dalam kebebasan area dan laut lepas diantaranya Perbudakan (Slavery), Pembajakan (Piracy), Perdagangan obat-obat narkotika atau bahan-bahan psikotropika, Penyiaran gelap, Pengejaran seketika (Hot persuit) dan Pencemaran lingkungan hidup.
            Perbudakan merupakan hal yang dilarang disemua negara di dunia internasional universal declaration of human rights 1948 telah mengakui bahwa perbudakan memang dilarang keras di semua negara. Kedua yaitu pembajakan, dalam UNCLOS 1982 pelarangan pembajakan diatur dalm pasal 100-107. Ketiga yaitu Perdagangan obat-obat narkotika atau bahan-bahan psikotropika, tindakan ini merupakan tindakan yang ilegal dan bukan hanya di Indonesia namun di semua negara juga melarang adanya transaksi obat-obatan terlarang, maka dari itu semua negara diajak untuk menggalakkan anti narkoba. Keempat yaitu Penyiaran gelap yang dimaksud dengan penyiaran gelap adalah setiap transmisi atau siaran yang disiarkan dari atas kapal atau instalasi lainnya di laut lepas yang disiarkan dengan tujuan untuk didengar atau ditonton oleh masyarakat umum yang bertentangan dengan peraturan internasional. Kelima Pengejaran seketika, hal tersebut dilarang. Pengejaran terhadap kapal asing yang diduga melakukan pelanggaran di wilayah negara pantai harus dimulai seketika ketika kapal tersebut berada dalam perairan pedalaman atau perairan kepulauan. Hanya dapat diteruskan sampai ke zona tambahan dan laut teritorial jika pengejaran tersebut tidak terputus. Keenam Pencemaran laut yaitu perobahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau pun tidak bahan-bahan atau enerji kedalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain penggunaan laut yang wajar, pemburukan daripada kwalitas air laut dan menurunnya tempat-tempat pemukiman dan rekreasi.12 Laut lepas telah menjadi laut terbuka dan setiap negara memiliki hak untuk dapat memanfaatkan laut lepas. Selain sebagai sarana transportasi dan tempat penelitian, laut lepas pun dapat dijadikan sebagai tempat untuk menangkap ikan untuk dimakan. Maka kita wajib untuk menjaga dan melestarikan lingkungan laut tersebut.[12]




















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Area dan laut lepas telah diatur dalam unclos 1982 dalam pasal 87, ada 7 hal yang berhak dan bebas dilakukan oleh semua negara di laut lepas. Negara pantai mauun negara tidak berpantai memiliki hak untuk memanfaatkan segala yang ada di laut lepas. Namun segala kebebasan tersebut juga ada batasannya, ada 6 batasan-batasan yang telah dimuat dalam makalah ini hal itu dilakukan agar tidak melanggar hak asasi manusia, tidak mencemari laut dan semua negara juga harus menjaga laut tanpa memperlakukan semaunya sendiri.
3.2 Saran
            Walaupun telah diberikan kebebasan dalam peraturan tentang laut lepas setiap negara hendaknya harus senantiasa mejaga laut agar tidak tercemari dan bisa digunakan untuk kebrlangsungan anak cucu seluruh bangsa dan negara.


[1] Heru Prijanto, Hukum Laut Internasional, Bayumedia, Malang, hal: 17
[2] Opcit, hal: 17
[3] Kendis Gabriela Runtunuwu, Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, Jurnal Lex et Societatis, Vol. II/No. 3/April/2014, hal: 62
[4] Ibid, hal: 63
[5] Anonymous, hal: 87
[6] Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, hal: 30
[7] Kendis Gabriela Runtunuwu, opcit, hal: 63
[8] Anonymous, ibid hal: 90
[9] Kendis Gabriela Runtunuwu, opcit, hal:64
[10] Anonymous, hal: 2
[11] Kendis Gabriela Runtunuwu, opcit, hal:65
[12] Kendis Gabriela Runtunuwu, opcit, hal:68

Kamis, 28 Januari 2016

Awal Blog ku

Sobat blogger yang budiman, blog ini saya buat untuk berbagi pengetahuan. Insyaallah saya akan rajin memuat tulisan saya di blog ini dan berbagi dengan kalian semua.  Salam semangat belajar dariku :-)

Rabu, 27 Januari 2016

Kejahatan Bisnis (Makalah)


KEJAHATAN BISNIS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia usaha atau dunia bisnis merupakan ranah yang memiliki persaingan yang sangat ketat di dalamnya. Persaingan dalam dunia bisnis bagi para pembisnis merupakan hal yang sangat lumrah ditemui, mereka menggunakan berbagai cara agar bisnis yang dibangunnya tetap berkembang dengan baik dan pendapatan yang diperoleh juga banyak. Dalam dunia ekonomi dikenal dengan istilah persaingan yang sempurna agar hasil yang diperoleh nantinya ideal. Namun dalam prakteknya sulit menemukan persaingan yang sempurna ini.  
Pembisnis yang hanya mementingkan keuntungan dengan melakukan cara apapun agar usahanya selalu untung, maka dia tidak akan segan untuk melakukan pelanggaran etika bisnis yang jujur dan dapat dipercaya. pelanggaran yang dilakukan ini akan merugikan masyarakat luas dan negara. Kejahatan bisnis pada saat ini telah berkembang dan kompleks yang melibatkan berbagai pelaku mulai dari pihak perusahaan sebagai suatu institusi, perorangan, birokrat, hingga dari kalangan professional.[1] Menurut Romli Atmasasmita, pengertian "kejahatan bisnis" secara filosofis adalah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas, seperti kegiatan penanaman modal dalam sektor-sektor swasta yang padat karya atau kegiatan pasar modal yang pemegang sahamnya adalah masyarakat luas termasuk golongan menengah ke bawah.[2]
Kejahatan bisnis yang sering dilakukan antar para relasi bisnis ini adalah kecurang, agar salah satu pihak mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan pihak yang lain mengalami kerugian. Soekardi Husodo menyatakan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang melakukan kecurang, yaitu: pressure (tekanan), opportunity (kesempatan) dan rasionalization (pembenaran). Tekanan atau pressure umumnya disebabkan karena perilaku individual karyawan yang menyebabkannya melakukan kecurang. Bisa jadi tekanan itu disebabkan masalah keuangan (financial pressure) yang dipicu karena gaya hidup yang berlebihan, sikap tamak dan serakah, banyak hutang atau tanggungan dan sebagainya, yang menyebabkan seseorang “terpaksa” melakukan kecurang.[3] Namun apapun alasannya perbuatan curang ini termasuk kejahatan dan tidak dibenarkan menurut hukum.
Dalam kejahatan bisnis ini pihak yang mengalami kerugian atau disebut korban pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita akibat suatu kejahatan seringkali tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diisyaratkan dalam undangundang. Penjatuhan pidana penjara kepada pelaku kejahatan dianggap sudah cukup memberi perlindungan kepada korban karena pelaku tidak meresahkannya lagi, sebab sudah berada di dalam tahanan. Namun, hal tersebut sebenarnya belum cukup untuk korban karena masih banyak hak-hak korban yang belum kembali seperti saat belum terjadinya kejahatan. Jadi, memidanakan pelaku kejahatan belum cukup untuk memberi perlindungan hukum kepada korban karena korban sebagai pihak yang paling menderita mengalami kerugian materiil dan penderitaan psikis akibat dari perbuatan pelaku yang tentu saja harus dipulihkan seperti keadaan semula.[4]

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perspektif viktimologi terhadap kejahatan bisnis?
2.      Bagaimana perlindungan hukum bagi korban kejahatan bisnis?

1.3 Tujuan
1.      Mengetahui perspektif viktimologi terhadap kejahatan bisnis
2.      Mengetahui perlindungan hukum bagi korban kejahatan bisnis






BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Perspektif Viktimologi Terhadap Kejahatan Bisnis
Kejahatan bisnis apabila dilihat secara substantif pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika dan hukum. Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling jalin-menjalin dan tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam wujud potensi pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat diverifikasi. Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum acara yang formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan infrastruktur hukum. Suatu negara yang mengkontraskan tertib hukum dengan etika sosial akan mengalami stagnasi karena hukum juga memerlukan landasan etika sosial. Oleh karena itu, banyak disaksikan ketentuan pidana merupakan prinsip-prinsip etis yang diangkat ke tataran sosial dengan dilandaskan pada norma-norma (moralitas).[5]
Kejahatan bisnis merupakan kejahatan yang tergolong korporasi. Korporasi yang adalah perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan, di mana orangorang tersebut merupakan anggota dari korporasi dan anggota yang mempunyai kekuasaan dalam pengaturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi. Sebagai badan yang didirikan dengan motif ekonomi, maka tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, sehingga korporasi dalam hal ini akan memasuki usaha-usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Pengertian korporasi atau badan hukum dapat dirinci menjadi 2 (dua) golongan jika dilihat dari perspektif cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu: Korporasi Egoistis: korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat Pekerja. Kedua korporasi yang Alturistis: korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, penyakit tbc, penyakit jantung, penderita cacat, dan sebagainya.[6] Namun dalam hal ini tentunya korporasi yang dimaksud merupakan suatu kejahatan dan disebut dengan korporasi egoistis.
Kejahatan bisnis yang terjadi menimbulkan korban yang mengalami kerugian baik materiil dan inmateriil, karena dampak yang ditimbulkan dari kejahatan bisnis ini sangat luas. Kejahatan bisnis ini dapat terjadi di dunia perbankan, dan bidang lainnya yang berhubungan dengan ekonomi. Korban dalam kejahatan bisnis ini diantaranya adalah perusahan-perusahan yang terlibat dalam bisnis tersebut, para karyawan perusahaan, rakyat dalam arti abstrak dan negara.[7] Karena segala pendapatan dari perusahaan-perusahaan baik itu perusahaan swasta maupun non swasta akan memberikan sekian persen pendapatannya untuk pajak negara. Apabila perusahaan yang sedang menjalani bisnis ini salah satu pihaknya melakukan suatu kecurang atau kejahatan dalam berbisnis maka, maka dampaknya yaitu perusahaan lawan akan mengalami kerugian dan yang paling parah akan mengalami kebangkrutan. Setelah bangkrut perusahaan tersebut tidak akan bisa lagi memeperkerjakan para karyawannya, mereka tidak dapat lagi membayar pajak kepada negara dan apabila perusahaan tersebut merupaka perusahaan produsen kebutuhan masyarakat maka mereka tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan masyarakata. Maka dari itu dari sudut pandang viktimologi terhadap kejahatan bisnis korban yang ditimbulkan sangat banyak.
2.2  Perlindungan Hukum Bagi Korban Kejahatan Bisnis
Menurut Barda Nawawi Arif perlindungan korban dalam hukum posetif merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Dikatakan demikian karena tindak pidana menurut hukum posetif tidak lihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya sebagai pelanggran norma atau tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korban pun tidak secara langsung dan in concreto. Selanjutnya menurut Beliau baik KUHP, UUTPE maupun KUHAP, seolah ada perlindungan secara langsung, tetapi apabila di telah lebih lanjut ternya adalah perlindungan korban secara tidak langsung. [8]
Hal ini dapat terlihat dalam pasal 14c KUHP: “ Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Selanjutnya menurut beliau ganti kerugian tersebut jarang diterapkan karena mengandung beberapa kelemahan diantaranya syarat khusus tentang ganti rugi tersebut hanya berlaku fakultatif dan tidak bersifat imperatif. Demikian juga dengan Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955 (UUTPE). Kendati ketentuan pasal 8 sub (d) memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi tindak pidana tata tertib berupa kewajiban mengerjakan apa yang telah dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk perbaikan akibat-akibat yang kesemuanya atas biaya terpidana. Jelas terlihat bahwa ketentuan ini berorintasi pada korban.[9]

Perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang bisnis dengan menggunakan hukum pidana, menagcu apada tiga pilar hukum pidana yaitu tindak pidana, pertanggung jawaban korporasi, pidana serta pemidanaannya. perlindungan korban kejahatan bisnis dengan sarana hukum pidana mempunyai keterbatasan maka sejak awal dalam menentukan kebijakan bisnis maka pengambil kebijakan harus memperhatikan bidang hukum pidana. Karena sebgaian besar kebijakan ekonomi dan bisnis diwujudkan melalui hukum dan di sisi lain analisis ekonomi bisnis akan dipakai sebagai panduan oleh para pembuat kebijakan ketika harus melakukan suatu tindakan hukum.[10]












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korban yang ditimbulkan dari kejahatan bisnis sangat banyak dan dampak dari kejahatan bisnis ini sangat luas. Maka dari itu perlindungan terhadap korban dari kejahatan bisnis ini sangat diperlukan agar mereka merasa terlindungi dan para pihak baik individu maupun kelompok harus memberikan ganti kerugian bagi para korban ini.  Namun hukum posetif kita masih belum tegas (secara imperatif) dan konkret mengatur perlindungan terhadap korban. Pada hal dalam era ini dan kedepannya korban merupakan pihak yang perlu mendapat perhatian dalam perundang-undangan. Perlindungan itu seharusnya tidak hanya sebatas korban seperti yang telah diatur dalam produk-produk hukum tersebut tetapi juga perlindungan terhadap korban pada umumnya, karena akibat yang di timbulkan oleh kejahatan bisnis telah merusak perekonomian nasional kita yaitu dengan korban yang jauh lebih luas dari pada kejahatan biasa (konvensional).

3.2 Saran
Untuk memberikan perlindungan hukum pidana terhadap korban kejahatan bisnis, baik yang berorintasi pada perlindungan terhadap korban in abstracto maupun korban in concreto hukum pidana yang akan datang seharusnya memodifikasi konsep dalam memenuhi kepentingan yang berkembang dalam masyarakat yaitu disamping memformulaikan ancaman pidana tinggi yang tercermin dalam hukum pidana.



[1] Anonymous, hal: 2
[2] Ibid, hal: 3
[3] Soekardi Husodo, “Faktor-faktor Pemicu Terjadinya Fraud Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Infobank dalam Membangun Komitmen Pengurus dan Manajemen Bank dalam Penerapan Strategi Anti Fraud, Le Meridien Hotel, 7 Maret 2012.
[4] Nita Yudasari Yusuf, Skripsi, Tinjauan Viktimologis Terhadap Kejahatan Penipuan Bermodus Bisnis Multi Level Marketing (Studi Kasus di Kota Makassar Tahun 2012-2014) Universitas Hasanuddin Makassar, 2015,hal: 4
[5] Iza Fadri, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010: 430 – 455, hal:437
[6] Elfina Lebrine S, Artikel, Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan Bisnis, Fakultas Hukum, Laboratorium Hukum Pidana, Universitas Surabaya, hal: 57
[7] Butje Jampi, Karya Ilmiah, Kebijakan Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011, hal: 30
[8] J. Hattu, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010, hal: 39
[9] Opcit, hal: 40
[10] Butje Jampi, opcit, hal: 33