Rabu, 27 Januari 2016

Kejahatan Bisnis (Makalah)


KEJAHATAN BISNIS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia usaha atau dunia bisnis merupakan ranah yang memiliki persaingan yang sangat ketat di dalamnya. Persaingan dalam dunia bisnis bagi para pembisnis merupakan hal yang sangat lumrah ditemui, mereka menggunakan berbagai cara agar bisnis yang dibangunnya tetap berkembang dengan baik dan pendapatan yang diperoleh juga banyak. Dalam dunia ekonomi dikenal dengan istilah persaingan yang sempurna agar hasil yang diperoleh nantinya ideal. Namun dalam prakteknya sulit menemukan persaingan yang sempurna ini.  
Pembisnis yang hanya mementingkan keuntungan dengan melakukan cara apapun agar usahanya selalu untung, maka dia tidak akan segan untuk melakukan pelanggaran etika bisnis yang jujur dan dapat dipercaya. pelanggaran yang dilakukan ini akan merugikan masyarakat luas dan negara. Kejahatan bisnis pada saat ini telah berkembang dan kompleks yang melibatkan berbagai pelaku mulai dari pihak perusahaan sebagai suatu institusi, perorangan, birokrat, hingga dari kalangan professional.[1] Menurut Romli Atmasasmita, pengertian "kejahatan bisnis" secara filosofis adalah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas, seperti kegiatan penanaman modal dalam sektor-sektor swasta yang padat karya atau kegiatan pasar modal yang pemegang sahamnya adalah masyarakat luas termasuk golongan menengah ke bawah.[2]
Kejahatan bisnis yang sering dilakukan antar para relasi bisnis ini adalah kecurang, agar salah satu pihak mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan pihak yang lain mengalami kerugian. Soekardi Husodo menyatakan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang melakukan kecurang, yaitu: pressure (tekanan), opportunity (kesempatan) dan rasionalization (pembenaran). Tekanan atau pressure umumnya disebabkan karena perilaku individual karyawan yang menyebabkannya melakukan kecurang. Bisa jadi tekanan itu disebabkan masalah keuangan (financial pressure) yang dipicu karena gaya hidup yang berlebihan, sikap tamak dan serakah, banyak hutang atau tanggungan dan sebagainya, yang menyebabkan seseorang “terpaksa” melakukan kecurang.[3] Namun apapun alasannya perbuatan curang ini termasuk kejahatan dan tidak dibenarkan menurut hukum.
Dalam kejahatan bisnis ini pihak yang mengalami kerugian atau disebut korban pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita akibat suatu kejahatan seringkali tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diisyaratkan dalam undangundang. Penjatuhan pidana penjara kepada pelaku kejahatan dianggap sudah cukup memberi perlindungan kepada korban karena pelaku tidak meresahkannya lagi, sebab sudah berada di dalam tahanan. Namun, hal tersebut sebenarnya belum cukup untuk korban karena masih banyak hak-hak korban yang belum kembali seperti saat belum terjadinya kejahatan. Jadi, memidanakan pelaku kejahatan belum cukup untuk memberi perlindungan hukum kepada korban karena korban sebagai pihak yang paling menderita mengalami kerugian materiil dan penderitaan psikis akibat dari perbuatan pelaku yang tentu saja harus dipulihkan seperti keadaan semula.[4]

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perspektif viktimologi terhadap kejahatan bisnis?
2.      Bagaimana perlindungan hukum bagi korban kejahatan bisnis?

1.3 Tujuan
1.      Mengetahui perspektif viktimologi terhadap kejahatan bisnis
2.      Mengetahui perlindungan hukum bagi korban kejahatan bisnis






BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Perspektif Viktimologi Terhadap Kejahatan Bisnis
Kejahatan bisnis apabila dilihat secara substantif pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika dan hukum. Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling jalin-menjalin dan tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam wujud potensi pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat diverifikasi. Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum acara yang formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan infrastruktur hukum. Suatu negara yang mengkontraskan tertib hukum dengan etika sosial akan mengalami stagnasi karena hukum juga memerlukan landasan etika sosial. Oleh karena itu, banyak disaksikan ketentuan pidana merupakan prinsip-prinsip etis yang diangkat ke tataran sosial dengan dilandaskan pada norma-norma (moralitas).[5]
Kejahatan bisnis merupakan kejahatan yang tergolong korporasi. Korporasi yang adalah perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan, di mana orangorang tersebut merupakan anggota dari korporasi dan anggota yang mempunyai kekuasaan dalam pengaturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi. Sebagai badan yang didirikan dengan motif ekonomi, maka tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, sehingga korporasi dalam hal ini akan memasuki usaha-usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Pengertian korporasi atau badan hukum dapat dirinci menjadi 2 (dua) golongan jika dilihat dari perspektif cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu: Korporasi Egoistis: korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat Pekerja. Kedua korporasi yang Alturistis: korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, penyakit tbc, penyakit jantung, penderita cacat, dan sebagainya.[6] Namun dalam hal ini tentunya korporasi yang dimaksud merupakan suatu kejahatan dan disebut dengan korporasi egoistis.
Kejahatan bisnis yang terjadi menimbulkan korban yang mengalami kerugian baik materiil dan inmateriil, karena dampak yang ditimbulkan dari kejahatan bisnis ini sangat luas. Kejahatan bisnis ini dapat terjadi di dunia perbankan, dan bidang lainnya yang berhubungan dengan ekonomi. Korban dalam kejahatan bisnis ini diantaranya adalah perusahan-perusahan yang terlibat dalam bisnis tersebut, para karyawan perusahaan, rakyat dalam arti abstrak dan negara.[7] Karena segala pendapatan dari perusahaan-perusahaan baik itu perusahaan swasta maupun non swasta akan memberikan sekian persen pendapatannya untuk pajak negara. Apabila perusahaan yang sedang menjalani bisnis ini salah satu pihaknya melakukan suatu kecurang atau kejahatan dalam berbisnis maka, maka dampaknya yaitu perusahaan lawan akan mengalami kerugian dan yang paling parah akan mengalami kebangkrutan. Setelah bangkrut perusahaan tersebut tidak akan bisa lagi memeperkerjakan para karyawannya, mereka tidak dapat lagi membayar pajak kepada negara dan apabila perusahaan tersebut merupaka perusahaan produsen kebutuhan masyarakat maka mereka tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan masyarakata. Maka dari itu dari sudut pandang viktimologi terhadap kejahatan bisnis korban yang ditimbulkan sangat banyak.
2.2  Perlindungan Hukum Bagi Korban Kejahatan Bisnis
Menurut Barda Nawawi Arif perlindungan korban dalam hukum posetif merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Dikatakan demikian karena tindak pidana menurut hukum posetif tidak lihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya sebagai pelanggran norma atau tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korban pun tidak secara langsung dan in concreto. Selanjutnya menurut Beliau baik KUHP, UUTPE maupun KUHAP, seolah ada perlindungan secara langsung, tetapi apabila di telah lebih lanjut ternya adalah perlindungan korban secara tidak langsung. [8]
Hal ini dapat terlihat dalam pasal 14c KUHP: “ Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Selanjutnya menurut beliau ganti kerugian tersebut jarang diterapkan karena mengandung beberapa kelemahan diantaranya syarat khusus tentang ganti rugi tersebut hanya berlaku fakultatif dan tidak bersifat imperatif. Demikian juga dengan Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955 (UUTPE). Kendati ketentuan pasal 8 sub (d) memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi tindak pidana tata tertib berupa kewajiban mengerjakan apa yang telah dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk perbaikan akibat-akibat yang kesemuanya atas biaya terpidana. Jelas terlihat bahwa ketentuan ini berorintasi pada korban.[9]

Perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang bisnis dengan menggunakan hukum pidana, menagcu apada tiga pilar hukum pidana yaitu tindak pidana, pertanggung jawaban korporasi, pidana serta pemidanaannya. perlindungan korban kejahatan bisnis dengan sarana hukum pidana mempunyai keterbatasan maka sejak awal dalam menentukan kebijakan bisnis maka pengambil kebijakan harus memperhatikan bidang hukum pidana. Karena sebgaian besar kebijakan ekonomi dan bisnis diwujudkan melalui hukum dan di sisi lain analisis ekonomi bisnis akan dipakai sebagai panduan oleh para pembuat kebijakan ketika harus melakukan suatu tindakan hukum.[10]












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korban yang ditimbulkan dari kejahatan bisnis sangat banyak dan dampak dari kejahatan bisnis ini sangat luas. Maka dari itu perlindungan terhadap korban dari kejahatan bisnis ini sangat diperlukan agar mereka merasa terlindungi dan para pihak baik individu maupun kelompok harus memberikan ganti kerugian bagi para korban ini.  Namun hukum posetif kita masih belum tegas (secara imperatif) dan konkret mengatur perlindungan terhadap korban. Pada hal dalam era ini dan kedepannya korban merupakan pihak yang perlu mendapat perhatian dalam perundang-undangan. Perlindungan itu seharusnya tidak hanya sebatas korban seperti yang telah diatur dalam produk-produk hukum tersebut tetapi juga perlindungan terhadap korban pada umumnya, karena akibat yang di timbulkan oleh kejahatan bisnis telah merusak perekonomian nasional kita yaitu dengan korban yang jauh lebih luas dari pada kejahatan biasa (konvensional).

3.2 Saran
Untuk memberikan perlindungan hukum pidana terhadap korban kejahatan bisnis, baik yang berorintasi pada perlindungan terhadap korban in abstracto maupun korban in concreto hukum pidana yang akan datang seharusnya memodifikasi konsep dalam memenuhi kepentingan yang berkembang dalam masyarakat yaitu disamping memformulaikan ancaman pidana tinggi yang tercermin dalam hukum pidana.



[1] Anonymous, hal: 2
[2] Ibid, hal: 3
[3] Soekardi Husodo, “Faktor-faktor Pemicu Terjadinya Fraud Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Infobank dalam Membangun Komitmen Pengurus dan Manajemen Bank dalam Penerapan Strategi Anti Fraud, Le Meridien Hotel, 7 Maret 2012.
[4] Nita Yudasari Yusuf, Skripsi, Tinjauan Viktimologis Terhadap Kejahatan Penipuan Bermodus Bisnis Multi Level Marketing (Studi Kasus di Kota Makassar Tahun 2012-2014) Universitas Hasanuddin Makassar, 2015,hal: 4
[5] Iza Fadri, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010: 430 – 455, hal:437
[6] Elfina Lebrine S, Artikel, Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan Bisnis, Fakultas Hukum, Laboratorium Hukum Pidana, Universitas Surabaya, hal: 57
[7] Butje Jampi, Karya Ilmiah, Kebijakan Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011, hal: 30
[8] J. Hattu, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010, hal: 39
[9] Opcit, hal: 40
[10] Butje Jampi, opcit, hal: 33

3 komentar: