KEJAHATAN BISNIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia
usaha atau dunia bisnis merupakan ranah yang memiliki persaingan yang sangat
ketat di dalamnya. Persaingan dalam dunia bisnis bagi para pembisnis merupakan
hal yang sangat lumrah ditemui, mereka menggunakan berbagai cara agar bisnis
yang dibangunnya tetap berkembang dengan baik dan pendapatan yang diperoleh
juga banyak. Dalam dunia ekonomi dikenal dengan istilah persaingan yang
sempurna agar hasil yang diperoleh nantinya ideal. Namun dalam prakteknya sulit
menemukan persaingan yang sempurna ini.
Pembisnis
yang hanya mementingkan keuntungan dengan melakukan cara apapun agar usahanya
selalu untung, maka dia tidak akan segan untuk melakukan pelanggaran etika
bisnis yang jujur dan dapat dipercaya. pelanggaran yang dilakukan ini akan
merugikan masyarakat luas dan negara. Kejahatan bisnis pada saat ini telah
berkembang dan kompleks yang melibatkan berbagai pelaku mulai dari pihak
perusahaan sebagai suatu institusi, perorangan, birokrat, hingga dari kalangan
professional.[1] Menurut
Romli Atmasasmita, pengertian "kejahatan bisnis" secara filosofis
adalah terjadi perubahan
nilai-nilai (values) dalam masyarakat
ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat
merugikan kepentingan masyarakat luas, seperti kegiatan penanaman modal dalam sektor-sektor
swasta yang padat karya atau kegiatan pasar modal yang pemegang sahamnya adalah
masyarakat luas termasuk golongan menengah ke bawah.[2]
Kejahatan bisnis yang sering dilakukan antar para relasi bisnis ini adalah
kecurang, agar salah satu pihak mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dan pihak yang lain mengalami kerugian. Soekardi Husodo
menyatakan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang melakukan kecurang,
yaitu: pressure (tekanan), opportunity (kesempatan) dan rasionalization
(pembenaran). Tekanan atau pressure umumnya disebabkan karena
perilaku individual karyawan yang menyebabkannya melakukan kecurang.
Bisa jadi tekanan itu disebabkan masalah keuangan (financial pressure)
yang dipicu karena gaya hidup yang berlebihan, sikap tamak dan serakah, banyak
hutang atau tanggungan dan sebagainya, yang menyebabkan seseorang “terpaksa”
melakukan kecurang.[3] Namun
apapun alasannya perbuatan curang ini termasuk kejahatan dan tidak dibenarkan
menurut hukum.
Dalam kejahatan bisnis ini pihak yang mengalami kerugian atau disebut
korban pada
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita akibat suatu kejahatan
seringkali tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diisyaratkan
dalam undangundang. Penjatuhan pidana penjara kepada pelaku kejahatan dianggap
sudah cukup memberi perlindungan kepada korban karena pelaku tidak
meresahkannya lagi, sebab sudah berada di dalam tahanan. Namun, hal tersebut
sebenarnya belum cukup untuk korban karena masih banyak hak-hak korban yang
belum kembali seperti saat belum terjadinya kejahatan. Jadi, memidanakan pelaku
kejahatan belum cukup untuk memberi perlindungan hukum kepada korban karena
korban sebagai pihak yang paling menderita mengalami kerugian materiil dan
penderitaan psikis akibat dari perbuatan pelaku yang tentu saja harus
dipulihkan seperti keadaan semula.[4]
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perspektif viktimologi terhadap kejahatan
bisnis?
2.
Bagaimana perlindungan hukum bagi korban kejahatan
bisnis?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
perspektif viktimologi terhadap kejahatan bisnis
2. Mengetahui
perlindungan hukum bagi korban kejahatan bisnis
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Viktimologi Terhadap Kejahatan Bisnis
Kejahatan bisnis apabila dilihat secara
substantif pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika
dan hukum. Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling
jalin-menjalin dan tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam
wujud potensi pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat
diverifikasi. Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum
acara yang formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan infrastruktur
hukum. Suatu negara yang mengkontraskan tertib hukum dengan etika sosial akan
mengalami stagnasi karena hukum juga memerlukan landasan etika sosial. Oleh
karena itu, banyak disaksikan ketentuan pidana merupakan prinsip-prinsip etis
yang diangkat ke tataran sosial dengan dilandaskan pada norma-norma
(moralitas).[5]
Kejahatan
bisnis merupakan kejahatan yang tergolong korporasi. Korporasi yang adalah
perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan, di mana orangorang tersebut merupakan
anggota dari korporasi dan anggota yang mempunyai kekuasaan dalam pengaturan
korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam
peraturan korporasi. Sebagai badan yang didirikan dengan motif ekonomi, maka
tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, sehingga korporasi dalam hal ini
akan memasuki usaha-usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Pengertian
korporasi atau badan hukum dapat dirinci menjadi 2 (dua) golongan jika dilihat
dari perspektif cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, yaitu: Korporasi Egoistis: korporasi yang menyelenggarakan
kepentingan para anggotanya, terutama harta kekayaan, misalnya Perseroan
Terbatas, Serikat Pekerja. Kedua korporasi yang Alturistis: korporasi
yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan
yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, penyakit tbc, penyakit
jantung, penderita cacat, dan sebagainya.[6]
Namun dalam hal ini tentunya korporasi yang dimaksud merupakan suatu kejahatan
dan disebut dengan korporasi egoistis.
Kejahatan
bisnis yang terjadi menimbulkan korban yang mengalami kerugian baik materiil
dan inmateriil, karena dampak yang ditimbulkan dari kejahatan bisnis ini sangat
luas. Kejahatan bisnis ini dapat terjadi di dunia perbankan, dan bidang lainnya
yang berhubungan dengan ekonomi. Korban dalam kejahatan bisnis ini diantaranya
adalah perusahan-perusahan yang terlibat dalam bisnis tersebut, para karyawan
perusahaan, rakyat dalam arti abstrak dan negara.[7] Karena
segala pendapatan dari perusahaan-perusahaan baik itu perusahaan swasta maupun
non swasta akan memberikan sekian persen pendapatannya untuk pajak negara.
Apabila perusahaan yang sedang menjalani bisnis ini salah satu pihaknya
melakukan suatu kecurang atau kejahatan dalam berbisnis maka, maka dampaknya
yaitu perusahaan lawan akan mengalami kerugian dan yang paling parah akan
mengalami kebangkrutan. Setelah bangkrut perusahaan tersebut tidak akan bisa
lagi memeperkerjakan para karyawannya, mereka tidak dapat lagi membayar pajak
kepada negara dan apabila perusahaan tersebut merupaka perusahaan produsen
kebutuhan masyarakat maka mereka tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan
masyarakata. Maka dari itu dari sudut pandang viktimologi terhadap kejahatan
bisnis korban yang ditimbulkan sangat banyak.
2.2 Perlindungan Hukum Bagi Korban Kejahatan Bisnis
Menurut Barda Nawawi
Arif perlindungan korban dalam hukum posetif merupakan
perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Dikatakan demikian
karena tindak pidana menurut hukum posetif tidak lihat sebagai perbuatan
menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi
dan konkrit, tetapi hanya sebagai pelanggran norma atau tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan
korban pun tidak secara langsung dan in concreto. Selanjutnya menurut
Beliau baik KUHP, UUTPE maupun KUHAP, seolah ada perlindungan secara langsung,
tetapi apabila di telah lebih lanjut ternya adalah perlindungan korban secara
tidak langsung. [8]
Hal ini dapat terlihat dalam pasal 14c KUHP: “ Dengan
perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana,
hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim
dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih
pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Selanjutnya menurut beliau ganti kerugian tersebut jarang
diterapkan karena mengandung beberapa kelemahan diantaranya syarat khusus
tentang ganti rugi tersebut hanya berlaku fakultatif dan tidak bersifat
imperatif. Demikian juga dengan Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955 (UUTPE).
Kendati ketentuan pasal 8 sub (d) memberi kemungkinan kepada hakim untuk
menjatuhkan sanksi tindak pidana tata tertib berupa kewajiban mengerjakan apa
yang telah dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan
melakukan jasa-jasa untuk perbaikan akibat-akibat yang kesemuanya atas biaya
terpidana. Jelas terlihat bahwa ketentuan ini berorintasi pada korban.[9]
Perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang bisnis dengan
menggunakan hukum pidana, menagcu apada tiga pilar hukum pidana yaitu tindak
pidana, pertanggung jawaban korporasi, pidana serta pemidanaannya. perlindungan
korban kejahatan bisnis dengan sarana hukum pidana mempunyai keterbatasan maka
sejak awal dalam menentukan kebijakan bisnis maka pengambil kebijakan harus
memperhatikan bidang hukum pidana. Karena sebgaian besar kebijakan ekonomi dan
bisnis diwujudkan melalui hukum dan di sisi lain analisis ekonomi bisnis akan dipakai
sebagai panduan oleh para pembuat kebijakan ketika harus melakukan suatu
tindakan hukum.[10]
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Korban
yang ditimbulkan dari kejahatan bisnis sangat banyak dan dampak dari kejahatan
bisnis ini sangat luas. Maka dari itu perlindungan terhadap korban dari
kejahatan bisnis ini sangat diperlukan agar mereka merasa terlindungi dan para pihak
baik individu maupun kelompok harus memberikan ganti kerugian bagi para korban
ini. Namun hukum posetif kita masih
belum tegas (secara imperatif) dan konkret mengatur perlindungan
terhadap korban. Pada hal dalam era ini dan kedepannya korban merupakan pihak
yang perlu mendapat perhatian dalam perundang-undangan. Perlindungan itu
seharusnya tidak hanya sebatas korban seperti yang telah diatur dalam
produk-produk hukum tersebut tetapi juga perlindungan terhadap korban pada
umumnya, karena akibat yang di timbulkan oleh kejahatan bisnis telah merusak
perekonomian nasional kita yaitu dengan korban yang jauh lebih luas dari pada
kejahatan biasa (konvensional).
3.2 Saran
Untuk
memberikan perlindungan hukum pidana terhadap korban kejahatan bisnis, baik
yang berorintasi pada perlindungan terhadap korban in abstracto maupun korban
in concreto hukum pidana yang akan datang seharusnya memodifikasi konsep dalam
memenuhi kepentingan yang berkembang dalam masyarakat yaitu disamping
memformulaikan ancaman pidana tinggi yang tercermin dalam hukum pidana.
[1] Anonymous, hal: 2
[2] Ibid, hal: 3
[3] Soekardi
Husodo, “Faktor-faktor Pemicu Terjadinya Fraud
Perbankan”, Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Infobank dalam Membangun Komitmen Pengurus dan Manajemen
Bank dalam Penerapan Strategi Anti Fraud, Le Meridien Hotel, 7 Maret 2012.
[4] Nita Yudasari Yusuf, Skripsi, Tinjauan
Viktimologis Terhadap Kejahatan Penipuan Bermodus Bisnis Multi Level Marketing (Studi Kasus di
Kota Makassar Tahun 2012-2014) Universitas Hasanuddin Makassar, 2015,hal: 4
[5] Iza Fadri, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak
Pidana Ekonomi di Indonesia, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010: 430 – 455, hal:437
[6] Elfina Lebrine S, Artikel, Pengaruh
Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan Bisnis, Fakultas
Hukum, Laboratorium Hukum Pidana, Universitas Surabaya, hal: 57
[7] Butje Jampi, Karya Ilmiah, Kebijakan Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi
di Bidang Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011,
hal: 30
[8] J. Hattu, Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Jurnal Sasi
Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010, hal: 39
[9] Opcit,
hal: 40
[10] Butje Jampi, opcit, hal: 33
ada makalah tentang karakteristik dan ruang lingkup kejahatan bisnis gak pak
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusLanjut ke STHG TASIKMALAYA
BalasHapus