Lampiran : 1
PENGADILAN
KHUSUS PEMILU
DIANORA
ALIVIA
DHEA
RIZKA AMALIA
DWI
ROWDHOTUL PUTRI
KOMPETISI DEBAT KONSTITUSI 2015
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
Mei,
2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL -------------------------------------------------------------------- 1
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------- 2
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS----------------------------------- 3
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang --------------------------------------------------------- 4
1.2. Rumusan Masalah ------------------------------------------------------ 6
1.3. Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------- 6
BAB 2 : PEMBAHASAN
2.1. Alasan Pembentukan
Pengadilan Khusus Pemilu ---------------- 7
2.2.Alasan Ketidak
Setujuan Pembentukan Pengadilan Khusus
Pemilu--------------------------------------------------------------------------- 10
BAB 3 : PENUTUP
3.1. Kesimpulan------------------------------------------------------------------- 13
3.2. Solusi -------------------------------------------------------------------------- 13
DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------- 14
LEMBAR
PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA
Yang
bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Dianora Alivia
Tempat & tanggal lahir : Sampang, 26 September 1995
Fak/Prog. Studi/PT : Fakultas Hukum/Ilmu Hukum
Alamat Kampus :
Jalan Raya Telang, Kec. Kamal
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Syamsul Arifin 1c Sampang
Alamat email : dianoraalivia11@gmail.com
HP :
087850518188 / 085940418820
Judul Tulisan : KEADILAN
PEMILU MELALUI PENGADILAN KHUSUS PEMILU
Dengan
ini saya menyatakan bahwa tulisan/naskah yang saya sertakan dalam Lomba Karya
Tulis Ilmiah Mahasiswa yang diadakan Mahkamah Konstitusi adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan karya orang lain dan belum pernah
diikutkan dalam segala bentuk perlombaan serta belum pernah dimuat di manapun.
Apabila
di kemudian hari ternyata tulisan/naskah saya tidak sesuai dengan pernyataan
ini, maka secara otomatis tulisan/naskah saya dianggap gugur. Demikian
pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Bangkalan,
6 April 2015
Yang
Menyatakan
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Pemilihan umum atau Pemilu
merupakan pesta demokrasi bangsa Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 2014
yang lalu. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang menetapkan Joko Widodo
dan Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode
2014-2019, serta pemilihan legislatif yang juga dilakukan pada tahun 2014 untuk
memilih DPR, DPRD dan DPD. Namun dari pemilihan umum presiden dan wakil
presiden serta pemilihan legislatif ini banyak menimbulkan permasalahan yang
sangat komplkes.
Berbagai pemberitaan media
massa juga dapat diketahui oleh publik bahwa telah terjadi berbagai pelanggaran
dalam proses pelaksanaan Pemilu Legislatif, seperti kekacauan mengenai Daftar
Pemilih Tetap (DPT), banyaknya warga negara yang kehilangan hak pilihnya, money
politic, tertukarnya surat suara, masalah logistik Pemilu, dan sebagainya.
Salah satu semangat reformasi adalah
mendemokratiskan Pemilu yang pada masa lalu, yaitu Pemilu-pemilu era Orde Baru
(Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992 dan Pemilu
1997), Pemilu sekedar sebuah ritual politik lima tahunan yang penuh rekayasa
politik otoritarian yang dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur Pemilu (electoral laws) dan dalam proses pelaksanaan Pemilu (electoral
process), sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan Pemilu dalam arti
sebenarnya, melainkan “seolah-olah Pemilu” yang hasilnya sudah bisa
ditebak, yakni sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.
Masalahnya adalah apakah
berbagai pelanggaran, baik pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana
Pemilu dalam Pemilu Legislatif 2014 tersebut telah sedemikian seriusnya,
sehingga telah merusak prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis dan berkualitas
yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil
Pemilu. Bagaimana mekanisme atau prosedur hukum untuk menyelesaikannya, apakah
Pemilu dapat dibatalkan secara keseluruhan, serta institusi peradilan manakah
yang berwenang untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tersebut.[1]
Realita dalam kehidupan hukum yang melibatkan Mahkamah Konstitusi sepanjang
tahun 2014 sangat dinamis dan variatif. Penegakan hukum oleh Mahkamah
Konstitusi menjadi tumpuan harapan masyarakat. Sebagai lembaga peradilan,
Mahkamah Konstitusi mampu merebut perhatian masyarakat karena penanganan
perkara dilakukan dengan cara yang cepat, transparan dan berteknologi modern. Masyarakat
dapat mengikuti persidangan melalui media video conference, atau melalui siaran
langsung Televisi untuk kasus yang menjadi perhatian publik. Ditambah lagi
putusan dalam persidangan tersebut dapat diakses masyarakat hanya dalam tempo
15 menit setelah dibacakan oleh hakim kontitusi. Inilah sebabnya masyarakat
memiliki ekspetasi dan kepercayaan besar kepada Mahkamah Konstitusi.
Mahkamh Konstitusi selama ini telah menunjukan eksistensinya sebagai
lembaga peradilan yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk, antara lain:”memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum” (Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) huruf
D UU No.8 Tahun 2011 perubahan atas undang-undang No.24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK).[2]
Dalam
Penyelenggaran Pemilu Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden Tahun 2014,
banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak Peserta Pemilu
dan Pihak Penyelenggara Pemilu serta Pengawas Pemilu yang tidak bisa
ditindaklanjuti oleh sistem Peradilan Umum. Dikarenakan oleh tidak adanya
sumber daya manusia yang unggul, didalam lingkup peradilan kita. Aparat penegak
hukum kita mulai dari Kepolisian, kejaksaan dan Para hakim yang belum
mengetahui secara komperhensif mengenai peraturan-peraturan kepemiluan serta
ketatanegaraan sehingga dalam beberapa kasus pelanggaran pemilu tidak dapat
diselesaikan secara baik.
Mencuatnya
isu pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dalam pembahasan amandemen UU Pemilu yaitu UU No. 8
tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota menjadi undang-undang pasal 157 ayat (1) yang berbunyi
“perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan
peradilan khusus”, memancing reaksi pro dan kontra dari berbagi
pihak. Hal ini tentulah sangat wajar dalam pandangan demokrasi mengingat
kebebasan berpendapat merupakan salah satu fondasi dasar untuk mewujudkan
demokratisasi di Indonesia. Namun lebih dari pada itu, rasionalisasi untuk
melihat persoalan secara hakiki bukanlah hal yang kemudian harus dikesampingkan
dalam kebebasan berpendapat. Karena perdebatan akan mustahil untuk menemukan
sebuah titik temu yang solutif apabila perdebatan terhadap sebuah hal
menghilangkan aspek-aspek rasionalitas dan hanya mengedepankan ego satu
kelompok saja.
Gagasan pembentukan Peradilan Khusus
Pemilu harus melalui berbagai pertimbangan sistem ketatanegaraan. Sebab
maraknya pembentukan peradilan khusus ternyata bertentangan dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yang
telah membuat kebijakan. Oleh karena itu, ide pembentukan peradilan khusus
pemilu inipun harus jelas jenis pemilu yang akan diselesaikan perkaranya
beserta kewenangan perkaranya termasuk pidana, perdata, atau tata usaha negara.
Sehingga akan lebih jelas pula dimana perkara tersebut pada akhirnya bermuara.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.2.1. Apa alasan yang mendasari pembentukan pengadilan khusus
pemilu?
1.2.2. Apa alasan ketidak setujuan pembentukan pengadilan khusus
pemilu?
1.3.
Tujuan
Penelitian
1.3.1. Mengetahui alasan yang mendasari pembentukan pengadilan
khusus pemilu
1.3.2. Mengetahui alasan ketidak setujuan pembentukan pengadilan
khusus pemilu.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1. Alasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu
Ide pembentukan peradilan khusus terutama sangat
berkembang di masa setelah reformasi, terutama untuk maksud memenuhi tuntutan
perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat. Bahkan,
setiap kali selalu saja muncul ide-ide baru untuk membentuk pengadilan khusus
lainnya yang pada umumnya dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan upaya
penegakan hukum, di bidang-bidang tertentu.[3]
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir. Mengenai wewenang mengadili pada tingkat
pertama, terdapat 3 rujukan:
a.
Keputusan MA
No.7K/Sip/1967, antara lain menyatakan: “ yang berwenang menilai pembuktian,
yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan (fakta) adalah hakim dan
hanyalah judex facti saja”.
b.
Pendapat R.Subekti:
“.....seluruh segi pemeriksaan perkara (baik fakta maupun hukumnya) sebagai
judex facti dilakukan oleh Pengadilan Negeri.....”.
c.
Pasal 29 ayat (1)
UUNo.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman “ Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir...”
Dari kutipan tersebut, maka yang berwenang menilai suatu
fakta dalam pembuktian judex facti adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan
tingkat pertama. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pengaturan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam wewenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir untuk memutus PHPU berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD NRI
1945 dan pasal 10 ayat (1) d UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
adalah sebagai Judex Facti. Dengan demikian wewenang Mahkamah Konstitusi dalam
hal PHPU tersebut bukan wewenang pengujian formil maupun materil.[4]
Salah satu kendala yang menyebabkan ingin dibentuknya peradilan
khusus adalah sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang ‘final and binding’ (final
dan mengikat). Suatu putusan yang bersifat final merefleksikan tertutupnya hak
dari yang berkepentingan untuk melakukan upaya hukum lainnya sejak putusan
selesai diucapkan di persidangan.
Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final
dan mengikat, penjelasan pasal 10 ayat 1 UU MK menegaskan: “putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh”. Konsekuensi dari putusan “Final and Binding” dalam pasal 10
ayat 1 UU MK tersebut, mengandung makna bahwa perlindungan yang diberikan
kepada pemohon tidak tuntas, karena begitu mengajakan permohonan putusan akhir
yang bersifat final. Jika MK sudah memiliki kewenangan mengadili pada tingkat
pertama dna terakhir yang bersifat final and binding, apabila dalam suatu
peristiwa muncul bukti baru (novum) yang dapat membuktikan sebaliknya setelah
putusan Mahkamah Konstitusi diterbitkan tetapi terhadap novum tersebut tidak
dapat ditempuh upaya penyelesaiannya atau tidak dapat mengajukan peninjauan
kembali (judicial review) karena sifat dari pengadilan MK itu sendiri final and
binding. Berbeda halnya dengan perkara di Mahkamah Agung yang masih memberi
kesempatan pada pemohon untuk mengajukan peninjauan kembali (judicial review)
bila ada novum. UU MK tidak memberikan kesepempatan kepada para pihak untuk
mengajukan upaya hukum karena berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak mengenal
teori novum.[5]
Dalam prakteknya, pada pemilu legislatif tahun 2014
terhadap suatu perkara di suatu dapil, salah satu contoh dari kekacauan
tersebut terjadi di Kabupaten Bangkalan Kecamatan Bangkalan Kelurahan
Pangeranan tepatnya di TPS 6 dimana banyak warga yang tidak mendapatkan hak
pilih, dan oknum-oknum tertentu yang melakukan kampanye kotor dengan cara memberikan
uang kepada masyarakat setempat. Permaslahan logistik juga menjadi faktor
kekacauan pemilu tahun 2014 tersebut, di TPS 6 tersebut tidak mendapatkan alat
tulis dan tinta yang seharusnya memang sudah disiapkan sebelumnya.
Lemahnya kompetensi
para hakim di sejumlah pengadilan negeri dan tinggi saat menangani kasus-kasus
pemilu, khususnya tindak pidana pemilu, mendorong daerah berharap pemerintah
membentuk suatu pengadilan yang khusus menangani pemilu.[6] Seiring
berjalannya waktu terdapat pergulatan argumen ketika muncul gagasan/ide untuk
membentuk Pengadilan khusus Pemilu. Gagasan ini menuai pro dan kontra
dikalangan praktisi dan akademisi. Beberapa alasan mendasar
mengenai ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu diungkapkan oleh Ketua Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo yakni banyak sekali kasus
pelanggaran pemilu baik bersifat administratif maupun mengandung unsur pidana
dan kedudukan Mahkamah Konstitusi) seolah-olah seperti “keranjang sampah”
karena semua persoalan sengketa pemilu bermuara ke sana. Hal ini adalah
implikasi dari tidak efektifnya mekanisme penanganan kasus-kasus pelanggaran
pemilu pada tahap sebelum bergulir ke MK. Pembentukan peradilan
khusus adalah karena kekecewaan masyarakat atas kinerja lembaga peradilan fungsional
yang selama ini ada.[7]
Bagi mereka yang pro dengan pembentukan Pengadilan
Khusus Pemilu menyatakan bahwa pentingnya Pembentukan lembaga ini dikarenakan
tidak optimalnya mekanisme penyelesaian sengekta Pemilu yang ada di Indonesia
saat ini. Kita tahu, bahwa sejak Mahkamah Konstitusi didirikan dan diberikan
kewenangan untuk memuutus sengketa hasil pemilihan umum, hal ini tentu membawa
angin segar bagi penegakan demokrasi di Indonesia. Mengingat sebelumnya kita
tidak pernah mengenal adanya istilah “sengketa Pemilu” dikarenakan tidak ada
lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan ini. Maka dahulu perselisihan hasil
suara dalam Pemilu tidak dianggap sebagai sebuah “persengketaan”.
Faktor lain yang juga menjadi alasan pihak yang pro
terhadap pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu adalah bahwa ini lebih kepada
bagaimana menciptakan peradilan Pemilu yang tidak hanya mempertimbangkan
persoalan waktu persidangan akan tetapi lebih kepada mencapai keadilan
substantif. Menurut mereka ini juga dapat meringankan beban yang ada di
Mahkamah Konstitusi, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
untuk memutus sengketa perselisihan suara hasil Pemilu saja. Dan juga masalah
yang terjadi dalam Pemilu akan tetapi juga mncakup masalah pidana. Yang mana
persoalan pidana saat ini merupakan kompetensi dari Pengadilan Tinggi di
masing-masing daerah Pemilu.
2.2. Alasan Ketidak Setujuan Pembentukan Pengadilan Khusus
Pemilu
Merujuk pada fungsi peradilan, pada wewenang penyelesaian
Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU), Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai judex
facti, yaitu: pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu perkara dari segi hukum
dan fakta atau peristiwa. Pengaturan fungsi Mahkamah Konstitusi ini tampak dalm
wewenang memutus perselisihan hasil pemilu pada pasal 24C ayat (1)UUD NRI 1945
dan pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK, yaitu:”Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”.[8]
Ide pembentukan
Pengadilan Khusus Pemilu yang merupakan
usulan pertama dari ketua Badan Pengawas Pemilu yaitu Muhammad yang fungsinya
untuk mengadili semua perkara pemilu baik perkara hasil pemilu, pelanggaran
administrasi, pelanggaran etik sampai pelanggaran pidana merupakan
sebuah ide yang tidak solutif terhadap permasalahan pemilu yang ada di
Indonesia saat ini. Bahwa
sebenarnya akar permasalahan munculnya kisruh seputar pemilihan umum dapat
dibagi menjadi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal adalah kinerja KPU yang tidak
sesuai dengan harapan masyarakat dan Bawaslu yang cenderung tidak dapat berbuat
maksimal dalam mengawasi jalannya pemilu dikarenakan Bawaslu tidak memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan sebuah keputusan yang bersifat eksekutorial. Dari
segi internal adalah persoalan moralitas KPU, Bawaslu dan para calon yang tidak
sadar akan prinsip-prinsip demokrasi. Moralitas KPU dan Bawaslu cenderung tidak
idealis terhadap prinsip-prinsip demokratisasi di Indonesia. Bahwa kesadaran
untuk mewujudkan General Walfare (Garis kejujuran yang umum) bagi
masyarakat Indonesia bukanlah sebuah kesadaran yang terlembagakan di KPU dan
Bawaslu padahal posisi dari pemilu sangat menentukan bagaimana pemerintahan
Indonesia lima tahun kedepan. Begitupun para calon yang seolah melihat celah
unttuk mengajukan gugatan setiap mereka kalah, padahal banyak gugatan yang
diajukan hanya berdasarkan karena hasratnya yang tidak dapat menerima
kekalahan.
Karena pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu justru akan
berdampak pada pangalokasian aggaran yang tidak semestinya. Karena pembentukan
lembaga baru pastilah membuat alokasi anggaran baru di Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD) yang mana seharusnya
anggaran tersebut dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di
bidang pendidikan dan ekonomi daripada harus dikeluarkan untuk menyelesaikan
masalah pemilu yang hanya dikarenakan ketidak tanggapan aparat birokrasi dalam melaksanakan
tugasnya. Adapun reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan cara mengganti
semua aparat-aparat KPU dan Bawaslu yang terbukti melanggar independensi kedua
lembaga tersebut. Dan mengadakan pelatihan khusus tindak pidana pemilu bagi
hakim-hakim yang saat ini bertugas untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Dan
juga amandemen undang-undang dan perubahan tata cara penyelesaian sengketa
pemilu baik di Mahkamah Konstitusi yang bertugas menyelesaikan perselisihan
suara hasil pemilu maupun Peradilan Umum yang mengadili tindak pidana pemilu.[9]
Peradilan Khusus Pemilu di Indonesia belum tepat
dibentuk. Hal ini secara pokok dilandasi belum jelasnya sistem ketatanegaraan
dalam UUD NRI
1945 yang mengatur tentang Pemilu yang menimbulkan belum adanya kejelasan
mengenai penentuan jenis pemilu (Pemilukada atau Pemilu Legislatif dan Presiden
& Wakil Presiden) serta kewenangannya apakah Pidana, Perdata, atau Tata
Usaha Negara.[10]
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Pada
intinya ide untuk mendirikan pengadilan khusus pemilu banyak menimbulkan pro
dan kontra dikalangan masyarakat maupun dikalangan pejabat negara. Mereka yang
menyetujui untuk dibentuknya peradilan khusus pemilu dikarenakan banyaknya
pelanggaran yang terjadi baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran yang
lainnya, dan para pihak yang setuju dengan hal tersebut karena melihat terlalu
banyak perkara ynag masuk ke MK sehingga MK seperti dijadikan sebagai
“Keranjang Sampah” oleh pihak-pihak yang merasa dirinya dirugikan dalam proses
pemilihan umum. Namun bagi mereka yang tidak menyetujui pembentukan pengadilan
khusus pemilu ini, mereka menilai bahwa Pengadilan
pemilu itu hanya menghasilkan election dispute (sengketa pemilu) yang sudah menjadi wewenang MK dan pembentukan pengadilan
khusus pemilu ini justru akan berdampak
pada pangalokasian aggaran yang tidak semestinya. Karena pembentukan lembaga
baru pastilah membuat alokasi anggaran baru di APBD.
3.2. Solusi
a.
Reformasi
birokrasi (pembentukan sementara di
tingkat daerah atau provinsi) dan revitalisasi
nilai-nilai demokrasi di KPU, Bawaslu dan seluruh rakyat Indonesia.
b.
Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibu kota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi
merupakan solusi tepat, dalam menangani setiap sengketa Pemilu di tingkat
daerah, karena Mahkamah Konstitusi dalam kewenanganya hanya sebatas sengketa
Perselisihan Hasil Pemilu, bukan sengketa pidana pemilu dan administrasi pemilu
pada proses Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu.
DAFTAR
PUSTAKA
Mukthie Fadjar, 2009, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian
Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.1.
Jimly Asshiddiqie, 2013, Pengadilan Khusus, Putih Hitam
Pengadilan Khusus, KY RI, Jakarta.
Nunuk
Nuswardani, 2010, Problem Konstitusional Penyelesaian Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Prmilukada) Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi
PKK FH Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1.
Lilis
Khalisotussurur, Menakar Pengadilan Khusus Pemilu?, http://www.gresnews.com/berita/hukum/22091-menakar-kemungkinan-pengadilan-khusus-pemilu/, diakses pada Minggu 26 April 2015, pukul 11:09 WIB
Esthi Maharani , MK Tidak Proses 312 Perkara PHPU 2014, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/07/01/n815fa-mk-tidak-proses-312-perkara-phpu-2014, diakses pada Minggu 26 April 2015, pukul 11:09 WIB
[1]A. Mukthie Fadjar, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian
Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.1, 2009, hal:1-2
[2]Nunuk
Nuswardani, PROBLEM KONSTITUSIONAL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
UMUM KEPALA DAERAH (PRMILUKADA) MAHKAMAH KONSTITUSI, Jurnal Konstitusi PKK FH
Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1, 2010, hal:83-84
[3]Jimly Asshiddiqie,
Pengadilan Khusus, Putih Hitam Pengadilan Khusus, KY RI, Jakarta, 2013, hal:11-12
[4]Unuk
Nuswardani, PROBLEM KONSTITUSIONAL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
UMUM KEPALA DAERAH (PRMILUKADA) MAHKAMAH KONSTITUSI, Jurnal Konstitusi PKK FH
Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1, 2010, hal:89-90
[5]Ibid,
hal:95-96
[6]Lilis
Khalisotussurur, Menakar Pengadilan Khusus Pemilu? http://www.gresnews.com/berita/hukum/22091-menakar-kemungkinan-pengadilan-khusus-pemilu/ diakses tanggal 26 April 2015, pukul 11:09
WIB
[7]Ibid
[8]Nunuk
Nuswardani, PROBLEM KONSTITUSIONAL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
UMUM KEPALA DAERAH (PRMILUKADA) MAHKAMAH KONSTITUSI, Jurnal Konstitusi PKK FH
Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1, 2010, hal:89
[9] Lilis
Khalisotussurur, Menakar Pengadilan Khusus Pemilu?http://www.gresnews.com/berita/hukum/22091-menakar-kemungkinan-pengadilan-khusus-pemilu/ diakses tanggal 26 April 2015, pukul 11:09 WIB
[10] Esthi Maharani , MK Tidak Proses 312 Perkara PHPU 2014,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/07/01/n815fa-mk-tidak-proses-312-perkara-phpu-2014 diakses tanggal 26
April 2015 pukul 14:19 WIB