BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Arah kebijaksanaan pertanahan secara konsepsional yang berlandaskan
Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur dan digariskan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960, yang selanjutnya disebut UUPA.
UUPA ini bersumber dari hukum tertulis, yaitu UUD NRI 1945, undang-undang pokok
dan peraturan-peraturan lain dan bersumber dari hukum tidak tertulis, yaitu
hukum adat.[1]
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang
diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.[2] Menurut
Rizal, hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana
sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat
berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak
ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat
memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu.[3]
Indonesia sebagai negara yang beberapa masyarakat masih menganut hukum adat
sangat menjunjung tinggi hak ulayat wilayah mereka, dan Indonesia juga mengakui
mengenai hak ulayat tersebut. Pengakuan
itu berangkat dari asumsi bahwa sebenarnya ada yang dinamakan “hak asal-usul”
itu bagi masyarakat adat dan bahwa negara harus mempertimbangkan ini. Mengakui
hak ulayat tidak hanya merupakan sebuah tindakan hukum tapi juga tindakan
politik, karena negara mengakui bahwa ia telah mengambil hak-hak hukum yang
telah ada dalam suatu masyarakat adat sebelum negara itu sendiri muncul. Dari
perspektif masyarakat adat cara berpikir seperti itu merupakan bentuk yang
paling menarik dalam hal kekuasaan terkait masalah penggunaan tanah.[4]
Hak komunal adalah hak atas tanah suatu masyarakat hukum adat. Hak
komunal atau yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat itu diakui dengan pembatasan tertentu, yakni mengenai
eksistensi dan pelaksanaannya yang telah ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA.
Berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, maka kritreria penentu
eksistensi hak ulayat didsarkan pada tiga unsur, yaitu (1) subyek hak ulayat,
yakni masyarakat hukum adat, (2) obyek hak ulayat, yakni tanah dan wilayah, dan
(3) adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola
tanah di wilayahnya, termasuk menetukan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang
berkenaan dengan persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah
wilayahnya itu.[5]
Terjadinya pencabutan mengenai hak ulayat yang diperuntukkan
bagi kepentingan umum Indonesia memiliki Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum
pasal 1 angka 3, namun pelaksanaannya dilakukan dengan cara pencabutan hak atas
tanah. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 30 tahun 2015
tentang perubahan ketiga atas peraturan presiden No. 71 tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara
pelepasan ataupun penyerahan hak atas tanah.[6]
Peraturan
Presiden Nomor 30 tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas peraturan presiden
No. 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum memuat kemungkinan
pencabutan hak milik atas tanah demi kepentingan umum. Syaratnya: harus
ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan
undang-undang. Untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu.[7]
1.2.
Rumusan
Masalah
1.2.1. Apa dampak positif dari pencabutan atau pelepasan hak
ulayat untuk kepentingan umum?
1.2.2. Apa dampak negatif dari pencabutan atau pelepasan hak
ulayat untuk kepentingan umum?
1.3.
Tujuan
Penelitian
1.3.1. Mengetahui
dampak positif pencabutan atau
pelepasan hak ulayat untuk kepentingan umum.
1.3.2. Mengetahui
dampak negatif dari pencabutan atau pelepasan hak ulayat untuk
kepentingan umum.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1. Dampak Positif
Pencabutan atau Pelepasan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum
Sesuai dengan ketentuan konstitusi, hak menguasai tanah
oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara. Untuk itu negara
berhak mengatur menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
mengatur hubungan-hubungan hukum tentang tanah. Semua dilakukan negara untuk
kepentingan rakyat.
Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.” Selanjtnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan
air dan kekayaan alamyang terkandung di bumi adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dual hal,
yaitu bahwa secara konstitusional negara memiliki legitimasi yang kuat untuk
menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam
kerangka untuk kemakmuran rakyat.[8]
Alasan hak bagi
negara untuk mengambil alih tanah masyarakat, baik yang berasal dari
perorangan, kumpulan perorangan atau badan hukum adalah sifat yang melekat pada
kekuasaan negara dalam penguasaan tanah. Kemudian sifat yang melekat pada
kepemilikan tanah yang dimiliki oleh perorangan. Sifat yang melekat pada
kekuasaan negara dalam penguasaan tanah tercermin dari berbagai rumusan
undang-undang yang mengatur pengguanaan, pemanfaatan dan pengalih funsian
tanah. Pada pasal UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.[9]
Berikut landasan
hukum penguasaan hak atas tanah oleh instansi pemerintah:
a.
Pasal 3 UU No. 5 tahun
1960 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian
rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang
diterangkan dalam penjelasan umum ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu
masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi
dan lebih luas". Tetapi
meskipun hak ulayat diberikan kepada suatu kelompok masyarakat seakan-akan itu
adalah hak miliknya tetapi perlu diperhatikan Pasal 1 huruf (1) “Seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
b.
Pasal 15 UU No. 5 Tahun
1960 “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah”. Dimana tiap-tiap orang
dalam hal ini termasuk masyarakat adat seharusnya memelihara tetapi malah
menyewakannya kepada investor asing untuk di eksploitasi yang justru
menyebabkan kerusakan hutan dan kerugian tidak hanya dalam bidang ekonomi.
c.
Pasal 2 ayat (1)
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. 65 Tahun 2006 menyatakan pengadaan tanah tanh
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
d.
Pasal 2 ayat (2)
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. 65 Tahun 2006 menyatakan pengadaan tanah selain
bagi pelaksanaan pembangunan atau kepentingan umum oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara
lain yang disepkati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[10]
Pencabutan hak ulayat ini dapat dijadikan sebagai ladang
manfaat bagi masyarakat dengan Kebijakan investasi dikaitkan dengan penggunaan
lahan dapat ditujukan pada optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian, padang
rumput, semak belukar, daerah rawa-rawa dan lahan lainnya. Selain itu,
investasi juga dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan hutan berbasiskan hutan
lindung, seperti pengembangan kawasan penelitian flora-fauna dan pariwisata
alam, atau dalam bentuk investasi yang membutuhkan sedikit lahan.[11]
Salah satu manfaat yang sangat besar mengenai pencabutan
atau pembebasan hak ulayat pada tanah ulayat adalah pada masyarakat nagari
Kabupaten Sijunjung Sumatera Utara yaitu masyarakat Nagari ini sukses di bidang
pertanian dan perkebunan. Termasuk juga investor swasta di Nagari ini. Misalnya
PT Karbindo yang bergerak di bidang pertambangan batu bara sejak tahun 1990.
Lahan yang dipakai oleh perusahaan ini sebagian telah menjadi milik pribadi dan
sebagian masih berstatus tanah ulayat nagari. Perusahaan ini cukup membantu
masyarakat setempat karena banyak membutuhkan karyawan untuk jadi pekerja di
perusahaan ini. PT Karbindo ini memakai tanah ulayat tersebut atas izin ninik
mamak di daerah tersebut
dengan sistem bagi hasil. [12]
2.2. Dampak Negatif
Pencabutan atau Pelepasan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum
Hukum ulayat ini diakui di Indonesia dan diakui oleh
konstitusi di negara ini. Walaupun hukum
ulayat ini diakui oleh konstitusi namun pemerintah memiliki kebijakan untuk
melakukan pencabutan hak ulayat yang nantinya diperuntukkan bagi kepentinagn
umum.
Muchsin mendefinisikan hak ulayat sebagai hak yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah di dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya. Pengakuan terhadap hak ulayat ini menunjukan kebolehan warga
negara, secara adat, untuk memiliki atau menguasai tanah secara kolektif bagi
pemenuhan kepentingan bersama dan juga pengakuan hak atas tanah secara pribadi.[13]
Problematika
pengelolaan tanah muncul seiring dengan kegiatan pembangunan. Hampir setiap
strategi pembangunan yang juga bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat,
selalu memerlukan lahan sebagai sarana, baik melalui penggunaan tanah negara
yang tersedia maupun melalui pengalihfungsian tanah rakyat. Mekanisme alih
fungsi lahan tersebut tentu saja menimbulkan pro dan kontra, termasuk
pertentangan antara pandangan masyarakat dengan persepsi pemerintah. Namun dalam prakteknya
pengalihfungsian tanah untuk kepentingan umum, sering kali menjadi salah satu
penyebab sengketa tanah, baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan
hak milik warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan.[14]
Hak
ulayat, merupakan hak purba dan hak trasdisional berupa hak secara kolektif
dalam suatu wilayah yang dimiliki oleh suatu masyarakat dimana hak ini diakui
dan dihormati oleh negara sesuai dengan landasan konstitusi UUD NRI 1945 Pasal
18B ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Diakui dan dihormati, maksudnya di sini adalah hak
tradisional itu sendiri telah diakui entitas keberadaannya jauh sebelum bangsa
Indonesia itu sendiri lahir. Sehingga hak tradisional yang dalam hal ini adalah
hak ulayat masyarakat hukum adat bukanlah hak yang berasal dari pemberian
negara. Sama halnya dengan tiga hak yang bersifat fundamental dan melekat dalam
tiap diri manusia, yakni hak untuk hidup, hak atas kebendaan dan hak
kekeluargaan. Jadi dengan eksistensi dari pada pencabutan hak ulayat ini merupakan
inskonstitusional.
Kemudian, yang perlu diketahui di sini adalah,
pencabutan hak ulayat ini bukanlah untuk kepentingan umum, mengingat bahwa
konstitusi membatasi hak dan kebebasan setiap individu demi dan atas dasar
kepentingan umum, karena menurut Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 dinyatakan
dalam pasal 5, Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya
dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:
a.
jalan umum dan jalan tol, rel
kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah),
saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi
b.
waduk, bendungan, bendungan
irigasi dan bangunan pengairan lainnya
c.
pelabuhan, bandar udara, stasiun
kereta api, dan terminal
d.
fasilitas keselamatan umum,
seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana
e.
tempat pembuangan sampah
f.
cagar alam dan cagar budaya
g.
pembangkit, transmisi, distribusi
tenaga listrik
Perlu digaris bawahi bahwa cagar alam dan hutan
lindung memiliki makna dan pengertian yang berbeda walaupun memiliki fungsi
sama, yakni sama-sama berfungsi sebagai perlindungan. Namun, perlu diketahui
bahwa objek dari cagar alam adalah perlindungan terhadapa fauna dan flora yang
ada di dalamnya, sedangkan hutan lindung sendiri memiliki fungsi untuk menjaga
tatanan air, kesuburan tanah, mencegah erosi dan banjir sesuai dalam UU No 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jadi kembali dipertegas bahwa pencabutan hak
ulayat adalah inkonstitusi.
Pasal 28j ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan
bahwa setiap orang dalam hal ini tiap individu wajib tunduk terhadap pembatasan
yang diberlakukan oleh Undang-undang, perlu diketahui bahwa hak ulayat adalah
hak kolektif yang dimiliki secara bersama-sama, tidak secara personil ataupun
individu. Jadi bisa dibayangkan ketika pencabutan hak ulayat itu dilakukan, ini
tidak hanya berdampak pada satu orang saja, tapi besar kemungkinannya berdampak
negatif pada satu komunitas masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya. Apalagi
bangsa indonesia adalah bangsa dengan latar belakang kebudayaan yang majemuk
dan beranekaragam. Seharusnya kita menghormati dan bangga akan hal itu.
Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh
negara, yang peruntukan akhirnya akhirnya tidak sesuai dengan maksud awal
pengambil alihan tersebut pada dasarnya tidak tersedia hal tersebut tercermin
dalam tidak ada sanksi yangdiatur oleh undang-undang bagi pihak yang
membebaskan tanah apabila pada akhirnya penggunaan tanah tersebut berbeda dari
tujuan semula.
Tidak ada kompensasi khusus atau saluran
perundang-undangan secara langsung tersedia bagi masyarakat yang merasa
haknya-haknya dirugikan dengan penerimaan ganti rugi atas tanah pengganti, apabila
peruntukan tanah dimaksud tidak seperti pada maksud awal.[15]
BAB
3
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Pada intinya pencabutan atau
pembebasan hak ulayat untuk kepentingan umum akan menimbulkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat adat dan pemerintah. Disatu sisi masyarakat adat
memiliki wewenang ke luar dan ke dalam,
serta didalamnya terdapat hak individu atas tanah, yakni hak yang lahir karena
pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas sebidang tanah (kosong), hak
ini diakui dan dihormati oleh Negara.
Namun tanah ulayat ini juga dapat dimintai pelepasan oleh pemerintah dimana
nantinya dipergunakan untuk kepentingan umum baik untuk pembangunan jalan,
pembangunan rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya.
3.2. Solusi
A.
Mendaftarkan tanah adat ke BPN berdasar peraturan
perundangan dengan memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional,
sebenarnya hal ini merupakan suatu penandaan kepada tanah itu, mana yang bisa
dialihkan, serta mana yang bisa diwariskan.
B.
Kerja di tingkat
desa adat dengan mengkonsolidasikan kepala-kepala adat, adalah suatu upaya
untuk mengantisipasi atau mempersiapkan sedari awal praktik reforma agraria
riil, di desa-desa adat nantinya.
C.
Dibuatnya sanksi
yang diatur oleh Undang-undang bagi pihak yang mencabut dan membebaskan tanah
apabila pada akhirnya penggunaan tanah tersebut berbeda dengan tujuan awal.
D.
Harus ada
kompensasi khusus, atau saluran perundang-undangan yang secara langsung
tersedia bagi masyarakat yang merasa hak-haknya dirugikan dengan penerimaan
ganti rugi atau tanah pengganti, apabila peruntukan tanah dimaksud tidak
seperti pada maksud awalnya.
[1]Leonardo
Simangunsong, Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Tinjauan
Pasal 9 ayat (1) Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum), Jurnal Beraja Inti, Vol.2 Nomor 12, 2013,
hal: 1
[2]Ibid, hal: 7
[3]Iswantoro,
eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat dalam hukum agraria nasional,
jurnal SOSIO-RELIGIA, Vol.10 No.1, 2012, hal:100
[4]Van
Vollenhoven Institute, MASA DEPAN HAK-HAK
KOMUNAL ATAS TANAH: BEBERAPA GAGASAN UNTUK PENGAKUAN HUKUM, Universitas
Leiden dan BAPPENAS, Jakarta, 2010, hal:8
[5]Agung
Rohmadi, PROSES PEMBEBASAN TANAH ULAYAT UNTUK PEMBANGUNAN RESORT SIKUAI DI
KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG, skripsi, Univ.Andalas, 2011, hal:7-8
[6]Leonardo
Simangunsong, PENYELENGGARAAN PENGADAAN
TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (TINJAUAN PASAL 9 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PAMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM),
Jurnal Beraja Inti, Vol.2 Nomor 12, 2013, hal: 3
[7]Iswantoro,
Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat Dalam Hukum Agraria Nasional, SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari
2012, hal:102
[8]Sampe L.
Purba, HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012,
hal:67
[9]Sampe L.
Purba, HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012,
hal:73
[10]Yosef B.
Badeoda, PEMANFAATAN ASET TANAH MILIK INSTANSI PEMERINTAHAN, Jurnal Keadilan
Vol.6 No.1, 2012, hal:54
[11]Erwin,
PEMANFAATAN TANAH ULAYAT YANG MENGUNTUNGKAN MASYARAKAT, Jurnal Vol.24, No.2,
2011, hal:3
[12]Ibid, hal:8
ninik mamak merupakan pemangku adat yang berada di tanah Minangkabau dan juga
merupakan pemilik tanah ulayat daerah Minangkabau
[13]Muazzin, HAK
MASYARAKAT ADAT (INDIGENOUS PEOPLES)ATAS SUMBER DAYA ALAM: PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1 No.2 Univ.Padjajaran, 2014, hal:329-330
[14]Galih,
”PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM”, artikel,
hal:2
[15]Sampe L.
Purba, HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012,
hal:77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar