Senin, 01 Februari 2016

Pencabutan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Arah kebijaksanaan pertanahan secara konsepsional yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur dan digariskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960, yang selanjutnya disebut UUPA. UUPA ini bersumber dari hukum tertulis, yaitu UUD NRI 1945, undang-undang pokok dan peraturan-peraturan lain dan bersumber dari hukum tidak tertulis, yaitu hukum adat.[1]
Tanah ulayat adalah  bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.[2] Menurut Rizal, hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu.[3]
Indonesia sebagai negara yang beberapa masyarakat masih menganut hukum adat sangat menjunjung tinggi hak ulayat wilayah mereka, dan Indonesia juga mengakui mengenai hak ulayat tersebut. Pengakuan itu berangkat dari asumsi bahwa sebenarnya ada yang dinamakan “hak asal-usul” itu bagi masyarakat adat dan bahwa negara harus mempertimbangkan ini. Mengakui hak ulayat tidak hanya merupakan sebuah tindakan hukum tapi juga tindakan politik, karena negara mengakui bahwa ia telah mengambil hak-hak hukum yang telah ada dalam suatu masyarakat adat sebelum negara itu sendiri muncul. Dari perspektif masyarakat adat cara berpikir seperti itu merupakan bentuk yang paling menarik dalam hal kekuasaan terkait masalah penggunaan tanah.[4]
Hak komunal adalah hak atas tanah suatu masyarakat hukum adat. Hak komunal atau yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat itu diakui dengan pembatasan tertentu, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya yang telah ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA. Berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, maka kritreria penentu eksistensi hak ulayat didsarkan pada tiga unsur, yaitu (1) subyek hak ulayat, yakni masyarakat hukum adat, (2) obyek hak ulayat, yakni tanah dan wilayah, dan (3) adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola tanah di wilayahnya, termasuk menetukan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya itu.[5]
Terjadinya pencabutan mengenai hak ulayat yang diperuntukkan bagi kepentingan umum Indonesia memiliki Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum pasal 1 angka 3, namun pelaksanaannya dilakukan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 30 tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas peraturan presiden No. 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan ataupun penyerahan hak atas tanah.[6]
 Peraturan Presiden Nomor 30 tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas peraturan presiden No. 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum memuat kemungkinan pencabutan hak milik atas tanah demi kepentingan umum. Syaratnya: harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang. Untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu.[7]
1.2.       Rumusan Masalah
1.2.1.      Apa dampak positif dari pencabutan atau pelepasan hak ulayat untuk kepentingan umum?
1.2.2.      Apa dampak negatif dari pencabutan atau pelepasan hak ulayat untuk kepentingan umum?

1.3.       Tujuan Penelitian
1.3.1.      Mengetahui dampak positif pencabutan atau pelepasan hak ulayat untuk kepentingan umum.
1.3.2.      Mengetahui dampak negatif dari pencabutan atau pelepasan hak ulayat untuk kepentingan umum.










BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.    Dampak Positif Pencabutan atau Pelepasan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum
                        Sesuai dengan ketentuan konstitusi, hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara. Untuk itu negara berhak mengatur menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan mengatur hubungan-hubungan hukum tentang tanah. Semua dilakukan negara untuk kepentingan rakyat.
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Selanjtnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alamyang terkandung di bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dual hal, yaitu bahwa secara konstitusional negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.[8]
Alasan hak bagi negara untuk mengambil alih tanah masyarakat, baik yang berasal dari perorangan, kumpulan perorangan atau badan hukum adalah sifat yang melekat pada kekuasaan negara dalam penguasaan tanah. Kemudian sifat yang melekat pada kepemilikan tanah yang dimiliki oleh perorangan. Sifat yang melekat pada kekuasaan negara dalam penguasaan tanah tercermin dari berbagai rumusan undang-undang yang mengatur pengguanaan, pemanfaatan dan pengalih funsian tanah. Pada pasal UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.[9]
Berikut landasan hukum penguasaan hak atas tanah oleh instansi pemerintah:
a.       Pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas". Tetapi meskipun hak ulayat diberikan kepada suatu kelompok masyarakat seakan-akan itu adalah hak miliknya tetapi perlu diperhatikan Pasal 1 huruf (1) “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
b.      Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1960 “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah”. Dimana tiap-tiap orang dalam hal ini termasuk masyarakat adat seharusnya memelihara tetapi malah menyewakannya kepada investor asing untuk di eksploitasi yang justru menyebabkan kerusakan hutan dan kerugian tidak hanya dalam bidang ekonomi.
c.       Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. 65 Tahun 2006 menyatakan pengadaan tanah tanh bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
d.      Pasal 2 ayat (2) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. 65 Tahun 2006 menyatakan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan atau kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepkati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[10]
Pencabutan hak ulayat ini dapat dijadikan sebagai ladang manfaat bagi masyarakat dengan Kebijakan investasi dikaitkan dengan penggunaan lahan dapat ditujukan pada optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian, padang rumput, semak belukar, daerah rawa-rawa dan lahan lainnya. Selain itu, investasi juga dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan hutan berbasiskan hutan lindung, seperti pengembangan kawasan penelitian flora-fauna dan pariwisata alam, atau dalam bentuk investasi yang membutuhkan sedikit lahan.[11]
Salah satu manfaat yang sangat besar mengenai pencabutan atau pembebasan hak ulayat pada tanah ulayat adalah pada masyarakat nagari Kabupaten Sijunjung Sumatera Utara yaitu masyarakat Nagari ini sukses di bidang pertanian dan perkebunan. Termasuk juga investor swasta di Nagari ini. Misalnya PT Karbindo yang bergerak di bidang pertambangan batu bara sejak tahun 1990. Lahan yang dipakai oleh perusahaan ini sebagian telah menjadi milik pribadi dan sebagian masih berstatus tanah ulayat nagari. Perusahaan ini cukup membantu masyarakat setempat karena banyak membutuhkan karyawan untuk jadi pekerja di perusahaan ini. PT Karbindo ini memakai tanah ulayat tersebut atas izin ninik mamak di daerah tersebut dengan sistem bagi hasil. [12]

2.2.    Dampak Negatif Pencabutan atau Pelepasan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum
Hukum ulayat ini diakui di Indonesia dan diakui oleh konstitusi di negara ini.  Walaupun hukum ulayat ini diakui oleh konstitusi namun pemerintah memiliki kebijakan untuk melakukan pencabutan hak ulayat yang nantinya diperuntukkan bagi kepentinagn umum.
Muchsin mendefinisikan hak ulayat sebagai hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah di dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya. Pengakuan terhadap hak ulayat ini menunjukan kebolehan warga negara, secara adat, untuk memiliki atau menguasai tanah secara kolektif bagi pemenuhan kepentingan bersama dan juga pengakuan hak atas tanah secara pribadi.[13]   
            Problematika pengelolaan tanah muncul seiring dengan kegiatan pembangunan. Hampir setiap strategi pembangunan yang juga bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat, selalu memerlukan lahan sebagai sarana, baik melalui penggunaan tanah negara yang tersedia maupun melalui pengalihfungsian tanah rakyat. Mekanisme alih fungsi lahan tersebut tentu saja menimbulkan pro dan kontra, termasuk pertentangan antara pandangan masyarakat dengan persepsi pemerintah. Namun dalam prakteknya pengalihfungsian tanah untuk kepentingan umum, sering kali menjadi salah satu penyebab sengketa tanah, baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan hak milik warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan.[14]
            Hak ulayat, merupakan hak purba dan hak trasdisional berupa hak secara kolektif dalam suatu wilayah yang dimiliki oleh suatu masyarakat dimana hak ini diakui dan dihormati oleh negara sesuai dengan landasan konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 18B ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Diakui dan dihormati, maksudnya di sini adalah hak tradisional itu sendiri telah diakui entitas keberadaannya jauh sebelum bangsa Indonesia itu sendiri lahir. Sehingga hak tradisional yang dalam hal ini adalah hak ulayat masyarakat hukum adat bukanlah hak yang berasal dari pemberian negara. Sama halnya dengan tiga hak yang bersifat fundamental dan melekat dalam tiap diri manusia, yakni hak untuk hidup, hak atas kebendaan dan hak kekeluargaan. Jadi dengan eksistensi dari pada pencabutan hak ulayat ini merupakan inskonstitusional.
Kemudian, yang perlu diketahui di sini adalah, pencabutan hak ulayat ini bukanlah untuk kepentingan umum, mengingat bahwa konstitusi membatasi hak dan kebebasan setiap individu demi dan atas dasar kepentingan umum, karena menurut Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 dinyatakan dalam pasal 5, Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:
a.       jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi
b.      waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya
c.       pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal
d.      fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana
e.       tempat pembuangan sampah
f.       cagar alam dan cagar budaya
g.      pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik
Perlu digaris bawahi bahwa cagar alam dan hutan lindung memiliki makna dan pengertian yang berbeda walaupun memiliki fungsi sama, yakni sama-sama berfungsi sebagai perlindungan. Namun, perlu diketahui bahwa objek dari cagar alam adalah perlindungan terhadapa fauna dan flora yang ada di dalamnya, sedangkan hutan lindung sendiri memiliki fungsi untuk menjaga tatanan air, kesuburan tanah, mencegah erosi dan banjir sesuai dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jadi kembali dipertegas bahwa pencabutan hak ulayat adalah inkonstitusi.
Pasal 28j ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa setiap orang dalam hal ini tiap individu wajib tunduk terhadap pembatasan yang diberlakukan oleh Undang-undang, perlu diketahui bahwa hak ulayat adalah hak kolektif yang dimiliki secara bersama-sama, tidak secara personil ataupun individu. Jadi bisa dibayangkan ketika pencabutan hak ulayat itu dilakukan, ini tidak hanya berdampak pada satu orang saja, tapi besar kemungkinannya berdampak negatif pada satu komunitas masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya. Apalagi bangsa indonesia adalah bangsa dengan latar belakang kebudayaan yang majemuk dan beranekaragam. Seharusnya kita menghormati dan bangga akan hal itu.
            Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh negara, yang peruntukan akhirnya akhirnya tidak sesuai dengan maksud awal pengambil alihan tersebut pada dasarnya tidak tersedia hal tersebut tercermin dalam tidak ada sanksi yangdiatur oleh undang-undang bagi pihak yang membebaskan tanah apabila pada akhirnya penggunaan tanah tersebut berbeda dari tujuan semula.
Tidak ada kompensasi khusus atau saluran perundang-undangan secara langsung tersedia bagi masyarakat yang merasa haknya-haknya dirugikan dengan penerimaan  ganti rugi atas tanah pengganti, apabila peruntukan tanah dimaksud tidak seperti pada maksud awal.[15]
BAB 3
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Pada intinya pencabutan atau pembebasan hak ulayat untuk kepentingan umum akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat adat dan pemerintah. Disatu sisi masyarakat adat memiliki  wewenang ke luar dan ke dalam, serta didalamnya terdapat hak individu atas tanah, yakni hak yang lahir karena pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas sebidang tanah (kosong), hak ini diakui dan dihormati oleh Negara. Namun tanah ulayat ini juga dapat dimintai pelepasan oleh pemerintah dimana nantinya dipergunakan untuk kepentingan umum baik untuk pembangunan jalan, pembangunan rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya.
3.2.    Solusi
A.    Mendaftarkan tanah adat ke BPN berdasar peraturan perundangan dengan memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya hal ini merupakan suatu penandaan kepada tanah itu, mana yang bisa dialihkan, serta mana yang bisa diwariskan.
B.     Kerja di tingkat desa adat dengan mengkonsolidasikan kepala-kepala adat, adalah suatu upaya untuk mengantisipasi atau mempersiapkan sedari awal praktik reforma agraria riil, di desa-desa adat nantinya.
C.     Dibuatnya sanksi yang diatur oleh Undang-undang bagi pihak yang mencabut dan membebaskan tanah apabila pada akhirnya penggunaan tanah tersebut berbeda dengan tujuan awal.
D.    Harus ada kompensasi khusus, atau saluran perundang-undangan yang secara langsung tersedia bagi masyarakat yang merasa hak-haknya dirugikan dengan penerimaan ganti rugi atau tanah pengganti, apabila peruntukan tanah dimaksud tidak seperti pada maksud awalnya.


[1]Leonardo Simangunsong, Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Tinjauan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum), Jurnal Beraja Inti, Vol.2 Nomor 12, 2013, hal: 1
[2]Ibid, hal: 7
[3]Iswantoro, eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat dalam hukum agraria nasional, jurnal SOSIO-RELIGIA, Vol.10 No.1, 2012, hal:100
[4]Van Vollenhoven Institute, MASA DEPAN HAK-HAK KOMUNAL ATAS TANAH: BEBERAPA GAGASAN UNTUK PENGAKUAN HUKUM, Universitas Leiden dan BAPPENAS, Jakarta, 2010, hal:8
[5]Agung Rohmadi, PROSES PEMBEBASAN TANAH ULAYAT UNTUK PEMBANGUNAN RESORT SIKUAI DI KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG, skripsi, Univ.Andalas, 2011, hal:7-8
[6]Leonardo Simangunsong, PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (TINJAUAN PASAL 9 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PAMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM), Jurnal Beraja Inti, Vol.2 Nomor 12, 2013, hal: 3
[7]Iswantoro, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional,  SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012, hal:102
[8]Sampe L. Purba, HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012, hal:67
[9]Sampe L. Purba, HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012, hal:73
[10]Yosef B. Badeoda, PEMANFAATAN ASET TANAH MILIK INSTANSI PEMERINTAHAN, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012, hal:54
[11]Erwin, PEMANFAATAN TANAH ULAYAT YANG MENGUNTUNGKAN MASYARAKAT, Jurnal Vol.24, No.2, 2011, hal:3
[12]Ibid, hal:8 ninik mamak merupakan pemangku adat yang berada di tanah Minangkabau dan juga merupakan pemilik tanah ulayat daerah Minangkabau
[13]Muazzin, HAK MASYARAKAT ADAT (INDIGENOUS PEOPLES)ATAS SUMBER DAYA ALAM: PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1 No.2 Univ.Padjajaran, 2014, hal:329-330
[14]Galih, ”PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM”, artikel, hal:2
[15]Sampe L. Purba, HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA, Jurnal Keadilan Vol.6 No.1, 2012, hal:77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar